60 Tahun Agresi Belanda
Kami yang kini terbaring
Demikianlah sajak yang ditulis oleh Chairil Anwar (26 Juli 1922 - 28 April 1949) pada tahun
1948, untuk mengungkapkan perasaannya terhadap situasi perang melawan tentara
Belanda waktu itu. Sajak ini dapat diresapi dan dimengerti maknanya, apabila kita berdiri di hadapan makam dari ratusan korban pembantaian tentara Belanda di Monumen Rawagede
Pada 9 Desember 1947, dalam agresi militer Belanda I yang dilancarkan mulai tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat. Selain itu, ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang, dan antara Karawang dan Bekasi timbul pertempuran, yang juga mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa di kalangan rakyat. Pada 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan “sweeping” lagi di Rawagede, dan kali ini 35 orang penduduk dibunuh.
Pasal 1
Pembantaian rawagede yg terlupakan Korban agresi militer Belanda dilupakan?
Pembantaian di Rawagede dan pelanggaran HAM lain
KARAWANG BEKASI antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
1948, untuk mengungkapkan perasaannya terhadap situasi perang melawan tentara
Desa Balongsari, dekat Karawang, dan mendengarkan berbagai kisah pilu dari para korban, janda korban dan anak-cucu korban pembantaian.
Pada 9 Desember 1947, dalam agresi militer Belanda I yang dilancarkan mulai tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat. Selain itu, ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang, dan antara Karawang dan Bekasi timbul pertempuran, yang juga mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa di kalangan rakyat. Pada 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan “sweeping” lagi di Rawagede, dan kali ini 35 orang penduduk dibunuh.
Di kalangan Republik, hasil Persetujuan Linggajati sangat tidak memuaskan. Bagi kelompok “garis keras”, yang juga dikenal sebagai pendukung “100% merdeka” di bawah pimpinan Tan Malaka (setelah meninggal, oleh Presiden Sukarno ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, namun di dalam daftar Pahlawan Nasional sejak Orde Baru hingga sekarang namanya “dicekal” dan tidak tercantum lagi) hasil tersebut sangat mengecewakan. Tanggal 26 Juni 1947, kabinet Syahrir (setelah meninggal, ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional) jatuh dan beberapa hari kemudian, Mr. Amir Syarifuddin Harahap (dieksekusi bulan Desember 1948, atas tuduhan terlibat Peristiwa Madiun September 1948), yang masih satu garis dengan Syahrir, diangkat menjadi Perdana Menteri.
Belanda nampak jelas menggunakan taktik mengulur waktu, untuk memperkuat angkatan perangnya di Indonesia dengan terus mendatangkan tentara KL dari Belanda dan merekrut pribuni yang bersedia menjadi serdadu KNIL. Setelah selesai perundingan di Linggajati bulan November 1946, di samping terus memperkuat angkatan perangnya di seluruh Indonesia terutama di Jawa dan Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan mereka di wilayah Indonesia Timur, sebagai kelanjutan “Konferensi Malino” 15 – 25 Juli 1946, van Mook menyelenggarakan pertemuan lanjutan di Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946 dan kemudian Belanda menggelar “Konferensi Besar” di Denpasar tanggal 18 – 24 Desember 1946 di mana kemudian diciptakan “Negara Indonesia Timur.”
Belanda nampak jelas menggunakan taktik mengulur waktu, untuk memperkuat angkatan perangnya di Indonesia dengan terus mendatangkan tentara KL dari Belanda dan merekrut pribuni yang bersedia menjadi serdadu KNIL. Setelah selesai perundingan di Linggajati bulan November 1946, di samping terus memperkuat angkatan perangnya di seluruh Indonesia terutama di Jawa dan Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan mereka di wilayah Indonesia Timur, sebagai kelanjutan “Konferensi Malino” 15 – 25 Juli 1946, van Mook menyelenggarakan pertemuan lanjutan di Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946 dan kemudian Belanda menggelar “Konferensi Besar” di Denpasar tanggal 18 – 24 Desember 1946 di mana kemudian diciptakan “Negara Indonesia Timur.”
Pasal 1
Tanggal 25 Februari 1947, BP KNIP yang berfungsi sebagai DPR-Sementara, bersidang di Malang guna membahas Persetujuan Linggajati. Sebagian besar yang hadir adalah pengikut Perdana Menteri Sutan Syahrir, dan terhadap para penentang Persetujuan tersebut dilancarkan berbagai tekanan. Bahkan dalam rapat pleno KNIP, Wakil Presiden Hatta mengancam, bahwa Sukarno-Hatta akan mengundurkan diri, apabila Persetujuan Linggajati tidak disahkan. Akhirnya Syahrir berhasil memuluskan pengesahan KNIP atas Persetujuan Linggajati. Pada 25 Maret 1947 Persetujuan Linggajati ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda di Istana Gambir (sekarang Istana Merdeka), Jakarta.
Di kalangan Republik, hasil Persetujuan Linggajati sangat tidak memuaskan. Bagi kelompok “garis keras”, yang juga dikenal sebagai pendukung “100% merdeka” di bawah pimpinan Tan Malaka (setelah meninggal, oleh Presiden Sukarno ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, namun di dalam daftar Pahlawan Nasional sejak Orde Baru hingga sekarang namanya “dicekal” dan tidak tercantum lagi) hasil tersebut sangat mengecewakan. Tanggal 26 Juni 1947, kabinet Syahrir (setelah meninggal, ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional) jatuh dan beberapa hari kemudian, Mr. Amir Syarifuddin Harahap (dieksekusi bulan Desember 1948, atas tuduhan terlibat Peristiwa Madiun September 1948), yang masih satu garis dengan Syahrir, diangkat menjadi Perdana Menteri.
Belanda nampak jelas menggunakan taktik mengulur waktu, untuk memperkuat angkatan perangnya di Indonesia dengan terus mendatangkan tentara KL dari Belanda dan merekrut pribuni yang bersedia menjadi serdadu KNIL. Setelah selesai perundingan di Linggajati bulan November 1946, di samping terus memperkuat angkatan perangnya di seluruh Indonesia terutama di Jawa dan Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan mereka di wilayah Indonesia Timur, sebagai kelanjutan “Konferensi Malino” 15 – 25 Juli 1946, van Mook menyelenggarakan pertemuan lanjutan di Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946 dan kemudian Belanda menggelar “Konferensi Besar” di Denpasar tanggal 18 – 24 Desember 1946 di mana kemudian diciptakan “Negara Indonesia Timur.”
Di kalangan Republik, hasil Persetujuan Linggajati sangat tidak memuaskan. Bagi kelompok “garis keras”, yang juga dikenal sebagai pendukung “100% merdeka” di bawah pimpinan Tan Malaka (setelah meninggal, oleh Presiden Sukarno ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, namun di dalam daftar Pahlawan Nasional sejak Orde Baru hingga sekarang namanya “dicekal” dan tidak tercantum lagi) hasil tersebut sangat mengecewakan. Tanggal 26 Juni 1947, kabinet Syahrir (setelah meninggal, ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional) jatuh dan beberapa hari kemudian, Mr. Amir Syarifuddin Harahap (dieksekusi bulan Desember 1948, atas tuduhan terlibat Peristiwa Madiun September 1948), yang masih satu garis dengan Syahrir, diangkat menjadi Perdana Menteri.
Belanda nampak jelas menggunakan taktik mengulur waktu, untuk memperkuat angkatan perangnya di Indonesia dengan terus mendatangkan tentara KL dari Belanda dan merekrut pribuni yang bersedia menjadi serdadu KNIL. Setelah selesai perundingan di Linggajati bulan November 1946, di samping terus memperkuat angkatan perangnya di seluruh Indonesia terutama di Jawa dan Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan mereka di wilayah Indonesia Timur, sebagai kelanjutan “Konferensi Malino” 15 – 25 Juli 1946, van Mook menyelenggarakan pertemuan lanjutan di Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946 dan kemudian Belanda menggelar “Konferensi Besar” di Denpasar tanggal 18 – 24 Desember 1946 di mana kemudian diciptakan “Negara Indonesia Timur.”
Di Jawa Barat, sebelum Persetujuan Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember, terus memburu laskar-laskar Indonesia dan unit pasukan TNI yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen).
Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda mencari Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi -kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi- yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok.
Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang Mayor mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjatapun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Perwira Tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru berusia 11 dan 12 tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin –istilah penduduk setempat: “didredet”- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.
Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan yang mereka namakan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties). Tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secar Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.
Pimpinan Republik mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).
Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda mencari Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi -kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi- yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok.
Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang Mayor mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjatapun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Perwira Tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru berusia 11 dan 12 tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin –istilah penduduk setempat: “didredet”- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.
Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan yang mereka namakan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties). Tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secar Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.
Pimpinan Republik mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).
Kereta Maut Bondowoso-Surabaya
Pada 23 November 1947, Belanda mengevakuasi 100 orang pejuang RI yang ditawan di Bondowoso dan akan dipindahkan ke Penjara Kalisosok di Surabaya. Para tahanan dimasukkan ke dalam gerbong barang. Gerbong No. GR.10152 berisi 30 orang. Gerbong No. GR.446 berisi 32 orang dan No. GR. 5769 berisi 38 orang. Kereta berangkat dari Stasiun Kereta Api Bondowoso pukul 03.00 dini hari menuju Surabaya. Gerbong-gerbong barang yang tertutup rapat hanya memiliki beberapa lubang kecil sehingga ketika siang hari terasa sangat pengap karena kurang udara dan di dalam gerbong mereka berdesak-desakan berebut udara melalui lubang kecil. Selama perjalanan yang memakan waktu lebih dari 13 jam, gerbong tidak pernah dibuka atau diperiksa, dan para tahanan tidak diberi minuman dan makanan. Ketika di Surabaya gerbong-gerbong dibuka, ternyata 46 orang dari seratus orang tahanan telah meninggal akibat dehydrasi dan kekurangan oksigen untuk bernafas. Untuk mengenang tragedi ini, di tengah kota Bondowoso didirikan Monumen Gerbong Maut. Di Belanda drama kereta api ini disebut sebagai De trein van de dood.
Pada 23 November 1947, Belanda mengevakuasi 100 orang pejuang RI yang ditawan di Bondowoso dan akan dipindahkan ke Penjara Kalisosok di Surabaya. Para tahanan dimasukkan ke dalam gerbong barang. Gerbong No. GR.10152 berisi 30 orang. Gerbong No. GR.446 berisi 32 orang dan No. GR. 5769 berisi 38 orang. Kereta berangkat dari Stasiun Kereta Api Bondowoso pukul 03.00 dini hari menuju Surabaya. Gerbong-gerbong barang yang tertutup rapat hanya memiliki beberapa lubang kecil sehingga ketika siang hari terasa sangat pengap karena kurang udara dan di dalam gerbong mereka berdesak-desakan berebut udara melalui lubang kecil. Selama perjalanan yang memakan waktu lebih dari 13 jam, gerbong tidak pernah dibuka atau diperiksa, dan para tahanan tidak diberi minuman dan makanan. Ketika di Surabaya gerbong-gerbong dibuka, ternyata 46 orang dari seratus orang tahanan telah meninggal akibat dehydrasi dan kekurangan oksigen untuk bernafas. Untuk mengenang tragedi ini, di tengah kota Bondowoso didirikan Monumen Gerbong Maut. Di Belanda drama kereta api ini disebut sebagai De trein van de dood.
Pembantaian di Rawagede Di Jawa Barat, sebelum Persetujuan Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember, terus memburu laskar-laskar Indonesia dan unit pasukan TNI yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen). Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda mencari Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi -kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi- yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok. Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang Mayor mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjatapun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut. Perwira Tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru berusia 11 dan 12 tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin –istilah penduduk setempat: “didredet”- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri. Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan yang mereka namakan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties). Tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras. Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secar Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari. Pimpinan Republik mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes). |
Para Penduduk lokal yang sedang menunggu di Eksekusi oleh Para KNIL |
Kesaksian Korban Rawagede |
Tahun 1969 berdasarkan keputusan sidang Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in IndonesiĆ« begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi buku dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman, dengan kata pengantar dari Prof Dr Jan Bank, guru besar sejarah Universitas Leiden. Di dalamnya terdapat sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede “hanya” sekitar 150 orang. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke pengadilan militer. Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter ini belum pernah ditunjukkan. Pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede serta berbagai pelanggaran HAM berat lain, hanya sebagian kecil bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.. Parlemen dan Pemerintah Belanda sangat responsif dan cukup terbuka mengenai pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh tentara Belanda antara 1945 – 1950, walaupun kemudian belum ada sanksi atau tindakan hukum selanjutnya. Juga tidak pernah dibahas, mengenai kompensasi bagi para korban dan keluarga korban yang tewas dalam pembantaian akibat agresi militer, yang sekarang mereka akui, adalah suatu kesalahan. Bagaimana sikap dan tindakan Pemerintah dan Parlemen Republik Indonesia? Batara R. Hutagalung Jakarta, November 2005 Pada 20 Mei 2005, KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA menuntut Pemerintah Belanda untuk; Pertama, Mengakui Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945; dan Kedua, Meminta Maaf Kepada Bangsa Indonesia atas Penjajahan, Perbudakan, Pelanggaran HAM Berat dan Kejahatan Atas Kemanusiaan. |
Posting Komentar