Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) adalah penyelenggara pemerintahan Republik Indonesia periode 22 Desember 1948 - 13 Juli 1949, dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara yang disebut juga dengan Kabinet Darurat. Sesaat sebelum pemimpin Indonesia saat itu, Sukarno dan Hatta ditangkap Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, mereka sempat mengadakan rapat dan memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan sementara.

Sejarah

Tidak lama setelah ibukota RI di Yogyakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda II, mereka berulangkali menyiarkan berita bahwa RI sudah bubar. Karena para pemimpinnya, seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir sudah menyerah dan ditahan.

Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Mr. T. Mohammad Hassan, Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh 15 Km di selatan kota Payakumbuh

Sejumlah tokoh pimpinan republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. T. M. Hassan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat Presiden Soekarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut:

  • Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad interim
  • Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama,
  • Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda,
  • Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman,
  • Ir. M. Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan,
  • Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.

Keesokan harinya, 23 Desember 1948, Sjafruddin berpidato:

"... Belanda menyerang pada hari Minggu, hari yang biasa dipergunakan oleh kaum Nasrani untuk memuja Tuhan. Mereka menyerang pada saat tidak lama lagi akan merayakan hari Natal Isa AS, hari suci dan perdamaian bagi umat Nasrani. Justru karena itu semuanya, maka lebih-lebih perbuatan Belanda yang mengakui dirinya beragama Kristen, menunjukkan lebih jelas dan nyata sifat dan tabiat bangsa Belanda: Liciknya, curangnya, dan kejamnya.
Karena serangan tiba-tiba itu mereka telah berhasil menawan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan beberapa pembesar lain. Dengan demikian, mereka menduga menghadapi suatu keadaan negara republik Indonesia yang dapat disamakan dengan Belanda sendiri pada suatu saat negaranya diduduki Jerman dalam Perang Dunia II, ketika rakyatnya kehilangan akal, pemimpinnya putus asa dan negaranya tidak dapat ditolong lagi.
Tetapi kita membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung kepada Sukarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Patah tumbuh hilang berganti.
Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh."

Sejak itu PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda. Tokoh-tokoh PDRI harus bergerak terus sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda.

Mr. T.M Hasan yang menjabat sebagai Wakil Ketua PDRI, merangkap Menteri Dalam Negeri, Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, menuturkannya bahwa romobongan mereka kerap tidur di hutan belukar, di pinggir sungai Batanghari, dan sangat kekurangan bahan makanan. Mereka pun harus menggotong radio dan berbagai perlengkapan lain. Kondisi PDRI yang selalu bergerilya keluar masuk hutan itu diejek radio Belanda sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia.

Sjafruddin membalas,

Kami meskipun dalam rimba, masih tetap di wilayah RI, karena itu kami pemerintah yang sah. Tapi, Belanda waktu negerinya diduduki Jerman, pemerintahnya mengungsi ke Inggris. Padahal menurut UUD-nya sendiri menyatakan bahwa kedudukan pemerintah haruslah di wilayah kekuasaannya. Apakah Inggris jadi wilayah kekuasaan Belanda? Yang jelas pemerintah Belanda tidak sah.

Konsolidasi

Sekitar satu bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi antara pimpinan PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka saling bertukar usulan untuk

menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatera dan Jawa. Setelah berbicara jarak jauh dengan pimpinan Republik di Jawa, maka pada 31 Maret 1948 Prawiranegara mengumumkan penyempurnaan susunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia sebagai berikut:

  • Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan,
  • Mr. Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda,
  • Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India).
  • dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan.
  • Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan.
  • Mr. Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat.
  • Kyai Haji Masykur, Menteri Agama.
  • Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
  • Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan.
  • Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum.
  • Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Perburuhan dan Sosial.

Pejabat di bidang militer:

  • Letnan Jenderal Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang RI.
  • Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Tentara & Teritorium Jawa.
  • Kolonel R. Hidayat Martaatmaja, Panglima Tentara & Teritorium Sumatera.
  • Kolonel Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut.
  • Komodor Udara Hubertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara.
  • Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kepala Kepolisian Negara.

Kemudian tanggal 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa yang dikoordinasikan oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sbb.:

  • Mr. Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan.
  • Mr. Ignatius J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat.
  • R. Panji Suroso, urusan Dalam Negeri.

Selain dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India, dan Lambertus N. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di PBB, adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di dunia internasional sejak Belanda melakukan Agresi Militer Belanda II. Dalam situasi ini, secara de facto, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia.

Mandat

Sesungguhnya, sebelum Soekarno dan Hatta menyerah, mereka sempat mengetik dua buah kawat. Pertama, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr.Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatra.Kedua, jika ikhtiar Sjafruddin gagal, maka mandat diberikan kepada Mr. A.A.Maramis untuk mendirikan pemerintah dalam pengasingan di New Delhi, India. Tetapi Sjafruddin sendiri tidak pernah menerima kawat itu. Berbulan-bulan kemudian barulah ia mengetahui tentang adanya mandat tersebut.

Menjelang pertengahan 1949, posisi Belanda makin terjepit. Dunia internasional mengecam agresi militer Belanda. Sedang di Indonesia,pasukannya tidak pernah berhasil berkuasa penuh. Ini memaksa Belanda menghadapi RI di meja perundingan. Belanda memilih berunding dengan utusan Soekarno-Hatta yang ketika itu statusnya tawanan. Perundingan itu menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Hal ini membuat para tokoh PDRI tidak senang, Jendral Sudirman mengirimkan kawat kepada Sjafruddin, mempertanyakan kelayakan para tahanan maju ke meja perundingan. Tetapi Sjafruddin berpikiran untuk mendukung dilaksanakannya perjanjian Roem-Royen.

Pengembalian Mandat

Setelah Perjanjian Roem-Royen, M. Natsir meyakinkan Prawiranegara untuk datang ke Jakarta, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yaitu PDRI yang dipimpinnya, dan Kabinet Hatta, yang secara resmi tidak dibubarkan. Setelah Persetujuan Roem-Royen ditandatangani, pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Roem-Royen. Sebab utama Sukarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember sesuai dengan rencana perang gerilya, adalah berdasarkan pertimbangan militer, karena tidak terjamin cukup pengawalan, sedangkan sepanjang yang diketahui dewasa itu, seluruh kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda. Lagi pula pada saat yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan arah-arah yang diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948 antara lain KSAU Suaryadarma mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa pasukan payung biasanya membunuh semua orang yang dijumpai di jalan-jalan, sehingga jika para beliau itu ke luar haruslah dengan pengawalan senjata yang kuat.

Pada sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, M. Hatta, selain sebagai Wakil Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri. Setelah serah terima secara resmi pengembalian Mandat dari PDRI, tanggal 14 Juli, Pemerintah RI menyetujui hasil Persetujuan Roem-Royen, sedangkan KNIP baru mengesahkan persetujuan tersebut tanggal 25 Juli 1949

60 Tahun Agresi Belanda

60 Tahun Agresi Belanda
Pembantaian rawagede yg terlupakan Korban agresi militer Belanda dilupakan?
Pembantaian di Rawagede dan pelanggaran HAM lain
KARAWANG BEKASI
Kami yang kini terbaring
antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Demikianlah sajak yang ditulis oleh Chairil Anwar (26 Juli 1922 - 28 April 1949) pada tahun
1948, untuk mengungkapkan perasaannya terhadap situasi perang melawan tentara
Belanda waktu itu. Sajak ini dapat diresapi dan dimengerti maknanya, apabila kita berdiri di hadapan makam dari ratusan korban pembantaian tentara Belanda di Monumen Rawagede
Desa Balongsari, dekat Karawang, dan mendengarkan berbagai kisah pilu dari para korban, janda korban dan anak-cucu korban pembantaian.

Pada 9 Desember 1947, dalam agresi militer Belanda I yang dilancarkan mulai tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat. Selain itu, ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang, dan antara Karawang dan Bekasi timbul pertempuran, yang juga mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa di kalangan rakyat. Pada 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan “sweeping” lagi di Rawagede, dan kali ini 35 orang penduduk dibunuh.

Persetujuan Linggajati Pada 15 November 1946 diparaf persetujuan Linggajati yang berisi 17 pasal, di mana tertera antara lain:

Pasal 1 Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia bersama-sama menyelenggarakan segera berdirinya sebuah negara berdaulat dan berdemokrasi, yang berdasarkan perserikatan, dan dinamakan Negara Indonesia Serikat.Draf persetujuan yang diparap di Jakarta pada 15 November 1946, tidak segera mendapat pengesahan yang mulus, baik di pihak Republik mau pun di pihak Belanda. Pada 20 Desember 1946, Tweede Kamer di Belanda meratifikasi Persetujuan Linggajati setelah dilakukan voting dengan suara 65 lawan 30.

Tanggal 25 Februari 1947, BP KNIP yang berfungsi sebagai DPR-Sementara, bersidang di Malang guna membahas Persetujuan Linggajati. Sebagian besar yang hadir adalah pengikut Perdana Menteri Sutan Syahrir, dan terhadap para penentang Persetujuan tersebut dilancarkan berbagai tekanan. Bahkan dalam rapat pleno KNIP, Wakil Presiden Hatta mengancam, bahwa Sukarno-Hatta akan mengundurkan diri, apabila Persetujuan Linggajati tidak disahkan. Akhirnya Syahrir berhasil memuluskan pengesahan KNIP atas Persetujuan Linggajati. Pada 25 Maret 1947 Persetujuan Linggajati ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda di Istana Gambir (sekarang Istana Merdeka), Jakarta.

Di kalangan Republik, hasil Persetujuan Linggajati sangat tidak memuaskan. Bagi kelompok “garis keras”, yang juga dikenal sebagai pendukung “100% merdeka” di bawah pimpinan Tan Malaka (setelah meninggal, oleh Presiden Sukarno ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, namun di dalam daftar Pahlawan Nasional sejak Orde Baru hingga sekarang namanya “dicekal” dan tidak tercantum lagi) hasil tersebut sangat mengecewakan. Tanggal 26 Juni 1947, kabinet Syahrir (setelah meninggal, ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional) jatuh dan beberapa hari kemudian, Mr. Amir Syarifuddin Harahap (dieksekusi bulan Desember 1948, atas tuduhan terlibat Peristiwa Madiun September 1948), yang masih satu garis dengan Syahrir, diangkat menjadi Perdana Menteri.

Belanda nampak jelas menggunakan taktik mengulur waktu, untuk memperkuat angkatan perangnya di Indonesia dengan terus mendatangkan tentara KL dari Belanda dan merekrut pribuni yang bersedia menjadi serdadu KNIL. Setelah selesai perundingan di Linggajati bulan November 1946, di samping terus memperkuat angkatan perangnya di seluruh Indonesia terutama di Jawa dan Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan mereka di wilayah Indonesia Timur, sebagai kelanjutan “Konferensi Malino” 15 – 25 Juli 1946, van Mook menyelenggarakan pertemuan lanjutan di Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946 dan kemudian Belanda menggelar “Konferensi Besar” di Denpasar tanggal 18 – 24 Desember 1946 di mana kemudian diciptakan “Negara Indonesia Timur.”
Demikianlah sajak yang ditulis oleh Chairil Anwar (26 Juli 1922 - 28 April 1949) pada tahun 1948, untuk mengungkapkan perasaannya terhadap situasi perang melawan tentara Belanda waktu itu. Sajak ini dapat diresapi dan dimengerti maknanya, apabila kita berdiri di hadapan makam dari ratusan korban pembantaian tentara Belanda di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, dekat Karawang, dan mendengarkan berbagai kisah pilu dari para korban, janda korban dan anak-cucu korban pembantaian.

Pada 9 Desember 1947, dalam agresi militer Belanda I yang dilancarkan mulai tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat. Selain itu, ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang, dan antara Karawang dan Bekasi timbul pertempuran, yang juga mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa di kalangan rakyat. Pada 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan “sweeping” lagi di Rawagede, dan kali ini 35 orang penduduk dibunuh.

Persetujuan Linggajati Pada 15 November 1946 diparaf persetujuan Linggajati yang berisi 17 pasal, di mana tertera antara lain:
Pasal 1
Tanggal 25 Februari 1947, BP KNIP yang berfungsi sebagai DPR-Sementara, bersidang di Malang guna membahas Persetujuan Linggajati. Sebagian besar yang hadir adalah pengikut Perdana Menteri Sutan Syahrir, dan terhadap para penentang Persetujuan tersebut dilancarkan berbagai tekanan. Bahkan dalam rapat pleno KNIP, Wakil Presiden Hatta mengancam, bahwa Sukarno-Hatta akan mengundurkan diri, apabila Persetujuan Linggajati tidak disahkan. Akhirnya Syahrir berhasil memuluskan pengesahan KNIP atas Persetujuan Linggajati. Pada 25 Maret 1947 Persetujuan Linggajati ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda di Istana Gambir (sekarang Istana Merdeka), Jakarta.

Di kalangan Republik, hasil Persetujuan Linggajati sangat tidak memuaskan. Bagi kelompok “garis keras”, yang juga dikenal sebagai pendukung “100% merdeka” di bawah pimpinan Tan Malaka (setelah meninggal, oleh Presiden Sukarno ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, namun di dalam daftar Pahlawan Nasional sejak Orde Baru hingga sekarang namanya “dicekal” dan tidak tercantum lagi) hasil tersebut sangat mengecewakan. Tanggal 26 Juni 1947, kabinet Syahrir (setelah meninggal, ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional) jatuh dan beberapa hari kemudian, Mr. Amir Syarifuddin Harahap (dieksekusi bulan Desember 1948, atas tuduhan terlibat Peristiwa Madiun September 1948), yang masih satu garis dengan Syahrir, diangkat menjadi Perdana Menteri.

Belanda nampak jelas menggunakan taktik mengulur waktu, untuk memperkuat angkatan perangnya di Indonesia dengan terus mendatangkan tentara KL dari Belanda dan merekrut pribuni yang bersedia menjadi serdadu KNIL. Setelah selesai perundingan di Linggajati bulan November 1946, di samping terus memperkuat angkatan perangnya di seluruh Indonesia terutama di Jawa dan Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan mereka di wilayah Indonesia Timur, sebagai kelanjutan “Konferensi Malino” 15 – 25 Juli 1946, van Mook menyelenggarakan pertemuan lanjutan di Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946 dan kemudian Belanda menggelar “Konferensi Besar” di Denpasar tanggal 18 – 24 Desember 1946 di mana kemudian diciptakan “Negara Indonesia Timur.”

Pembantaian di Rawagede


Suasana Perjanjian Linggarjati


Formal dinner with mixed Dutch and Indonesian guests, plus foreign Ambassadors, shortly after Indonesia proclaimed Independence. At the uncomfortably-arranged long table at the back of this suffocatingly crowded vista, there were Indonesian Prime Minister Sir Sjahrir, and independence hero and Muslim scholar Haji Agus Salim. All Indonesian women present were wearing Javanese traditional dress of batik sarong and kebaya.


Perang Puputan Margarana
Agresi militer Belanda ke Pulau Bali ternyata belum sepenuhnya dapat menguasai seluruh Bali. Menjelang persiapan “Konferensi Besar” di Denpasar bulan Desember 1946, pasukan Ciungwanara di bawah pimpinan Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai terus melakukan penyerangan terhadap pos pertahanan Belanda. Tanggal 19 November 1946, Pasukan Ciungwanara menyerang Tabanan. Belanda melakukan serangan balasan. Tanggal 20 November 1946 pukul 06.00, pasukan Belanda memulai penyerangan. Pasukan Ciungwanara terkepung di suatu dataran tinggi di Kelaci, dekat desa Marga. Belanda menyerang dari semua arah, serta menjatuhkan bom dari udara. Setelah melihat mereka terkepung dan teman-temannya tewas, Ngurah Rai menyerukan: “Puputan! Puputan!” seruan tersebut diikuti oleh anak buahnya, dan mereka bertempur sampai titik darah terakhir. Jam 17.00 pertempuran berakhir. Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai (kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional) gugur bersama 96 anak buahnya pada pertempuran tanggal 20 November 1946, yang kemudian terkenal dengan nama Perang Puputan Margarana. Ini adalah suatu bukti lagi kebohongan Belanda, yang menyatakan bahwa di daerah yang mereka kuasai, rakyat setempat mendukung mereka.

Pembentukan negara-negara boneka
Kekuatan pendukung Republik di Indonesia Timur terlihat dalam pemilihan Presiden Negara Indonesia Timur pada “Konferensi Besar” pada bulan Desember 1946 di Denpasar, di mana calon yang diunggulkan Belanda, Cokorde Gde Raka Sukawati hanya menang tipis, yaitu 36 lawan 32, atas saingannya, Mr. Tajuddin Noor, yang -sebelum dibubarkan Belanda tanggal 8 September 1946- adalah Ketua Partai Nasional Indonesia di Sulawesi. Mr. Tajuddin Noor adalah pendukung Republik, dan menjadi oposisi yang vokal dalam Negara Indonesia Timur (NIT) bentukan van Mook.

Setelah berhasil mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT) dengan Cokorde Gde Raka Sukawati sebagai Presiden dan Najamuddin Daeng Malewa sebagai Perdana Menteri, pada 25 Desember 1946, Belanda membentuk Negara Sumatera Timur, dengan dr. Tengku Mansur, yang masih kerabat Sultan Deli, sebagai Wali Negara. Pada 4 Mei 1947 van Mook kembali menunjukkan “keberhasilannya” dalam politik divide et impera dengan membentuk “Negara Pasundan” dan mengangkat Surya Kartalegawa sebagai “Kepala Negara”, namun Kartalegawa sendiri kurang mendapat dukungan dari rakyat Jawa Barat. Pada 9 Mei 1947 Belanda mendirikan “Dewan Federal Borneo Tengah” dan pada 12 Mei 1947 mendirikan “Daerah Istimewa Borneo Barat”, dengan Sultan Hamid II dari Pontianak sebagai “Kepala Negara.”

Sejarah mencatat, bahwa Belanda –seperti juga Inggris sebelumnya- berkali-kali melanggar kesepakatan ataupun perjanjian yang telah ditandatangani, baik oleh pimpinan sipil maupun militer. Nampaknya, bagi mereka perjanjian dengan pimpinan dari negara bekas jajahan seperti tidak ada artinya. Selain terus membentuk negara-negara boneka di wilayah yang mereka kuasai, tentara Belanda terus melancarkan serangan-serangan terhadap daerah-daerah yang resmi dikuasai oleh Republik.

Agresi militer Belanda I
Tanggal 15 Juli 1947 van Mook mengeluarkan ultimatum agar supaya RI menarik mundur pasukannya sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.

Persetujuan Linggajati ini dilanggar Belanda dengan melancarkan agresi militer yang dimulai tanggal 21 Juli 1947 dan menggunakan kode "Operatie Product", kemudian dikenal sebagai Agresi I. Sesuai namanya, tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai “Aksi Polisional”, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggajati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.

Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 20 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J.A.Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula. Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciaale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera.

Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.

Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto (ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional), Komodor Muda Udara dr. Abdulrachman Saleh (ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional) dan Perwira Muda Udara I Adisumarno Wiryokusumo .

Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian internasional, yaitu Persetujuan Linggajati. Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang kini tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1946 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.

Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949 , Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai “The Indonesian Question.”

Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.

Pada 17 Agustus 1947, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.


Di Jawa Barat, sebelum Persetujuan Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember, terus memburu laskar-laskar Indonesia dan unit pasukan TNI yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen).

Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda mencari Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi -kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi- yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok.

Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang Mayor mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjatapun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.

Perwira Tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru berusia 11 dan 12 tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin –istilah penduduk setempat: “didredet”- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.

Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan yang mereka namakan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties). Tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.

Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secar Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.

Pimpinan Republik mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).

Kereta Maut Bondowoso-Surabaya
Pada 23 November 1947, Belanda mengevakuasi 100 orang pejuang RI yang ditawan di Bondowoso dan akan dipindahkan ke Penjara Kalisosok di Surabaya. Para tahanan dimasukkan ke dalam gerbong barang. Gerbong No. GR.10152 berisi 30 orang. Gerbong No. GR.446 berisi 32 orang dan No. GR. 5769 berisi 38 orang. Kereta berangkat dari Stasiun Kereta Api Bondowoso pukul 03.00 dini hari menuju Surabaya. Gerbong-gerbong barang yang tertutup rapat hanya memiliki beberapa lubang kecil sehingga ketika siang hari terasa sangat pengap karena kurang udara dan di dalam gerbong mereka berdesak-desakan berebut udara melalui lubang kecil. Selama perjalanan yang memakan waktu lebih dari 13 jam, gerbong tidak pernah dibuka atau diperiksa, dan para tahanan tidak diberi minuman dan makanan. Ketika di Surabaya gerbong-gerbong dibuka, ternyata 46 orang dari seratus orang tahanan telah meninggal akibat dehydrasi dan kekurangan oksigen untuk bernafas. Untuk mengenang tragedi ini, di tengah kota Bondowoso didirikan Monumen Gerbong Maut. Di Belanda drama kereta api ini disebut sebagai De trein van de dood.
Tahun 1969 berdasarkan keputusan sidang Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in IndonesiĆ« begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi buku dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman, dengan kata pengantar dari Prof Dr Jan Bank, guru besar sejarah Universitas Leiden. Di dalamnya terdapat sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede “hanya” sekitar 150 orang. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke pengadilan militer.

Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter ini belum pernah ditunjukkan.

Pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede serta berbagai pelanggaran HAM berat lain, hanya sebagian kecil bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945..

Parlemen dan Pemerintah Belanda sangat responsif dan cukup terbuka mengenai pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh tentara Belanda antara 1945 – 1950, walaupun kemudian belum ada sanksi atau tindakan hukum selanjutnya. Juga tidak pernah dibahas, mengenai kompensasi bagi para korban dan keluarga korban yang tewas dalam pembantaian akibat agresi militer, yang sekarang mereka akui, adalah suatu kesalahan.

Bagaimana sikap dan tindakan Pemerintah dan Parlemen Republik Indonesia?


Batara R. Hutagalung

Jakarta, November 2005

Pada 20 Mei 2005, KOMITE UTANG KEHORMATAN BE­LANDA menuntut Peme­rintah Belanda untuk; Per­tama, Mengakui Kemer­dekaan Repu­blik Indo­nesia 17 Agustus 1945; dan Ke­dua, Meminta Maaf Ke­pa­da Bangsa Indonesia atas Pen­jajahan, Perbudakan, Pe­lang­ga­ran HAM Berat dan Kejahatan Atas Kemanusiaan.

Pembantaian di Rawagede
Di Jawa Barat, sebelum Persetujuan Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember, terus memburu laskar-laskar Indonesia dan unit pasukan TNI yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen).

Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda mencari Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi -kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi- yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok.

Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang Mayor mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjatapun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.

Perwira Tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru berusia 11 dan 12 tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin –istilah penduduk setempat: “didredet”- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.

Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan yang mereka namakan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties). Tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.

Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secar Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.

Pimpinan Republik mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).



Para Penduduk lokal yang sedang menunggu di Eksekusi oleh Para KNIL


Kesaksian Korban Rawagede
Tahun 1969 berdasarkan keputusan sidang Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in IndonesiĆ« begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi buku dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman, dengan kata pengantar dari Prof Dr Jan Bank, guru besar sejarah Universitas Leiden. Di dalamnya terdapat sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede “hanya” sekitar 150 orang. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke pengadilan militer.

Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter ini belum pernah ditunjukkan.

Pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede serta berbagai pelanggaran HAM berat lain, hanya sebagian kecil bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945..

Parlemen dan Pemerintah Belanda sangat responsif dan cukup terbuka mengenai pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh tentara Belanda antara 1945 – 1950, walaupun kemudian belum ada sanksi atau tindakan hukum selanjutnya. Juga tidak pernah dibahas, mengenai kompensasi bagi para korban dan keluarga korban yang tewas dalam pembantaian akibat agresi militer, yang sekarang mereka akui, adalah suatu kesalahan.

Bagaimana sikap dan tindakan Pemerintah dan Parlemen Republik Indonesia?


Batara R. Hutagalung

Jakarta, November 2005

Pada 20 Mei 2005, KOMITE UTANG KEHORMATAN BE­LANDA menuntut Peme­rintah Belanda untuk; Per­tama, Mengakui Kemer­dekaan Repu­blik Indo­nesia 17 Agustus 1945; dan Ke­dua, Meminta Maaf Ke­pa­da Bangsa Indonesia atas Pen­jajahan, Perbudakan, Pe­lang­ga­ran HAM Berat dan Kejahatan Atas Kemanusiaan.

Tan Malaka seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia

Tan Malaka









Tan Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 19 Februari 1896 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 16 April 1949 pada umur 53 tahun[1]) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.

Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.

Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.

Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh "sekelompok orang tak dikenal" di Surakarta sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda.


Riwayat


  • Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.
  • Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
  • Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
  • Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.
  • Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
  • Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.

Perjuangan

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.

Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.

Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."

Madilog


Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan Madilog

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.

Pahlawan

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1].

Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.

Tan Malaka dalam fiksi





Sampul Majalah Tempo dengan Tan Malaka

Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.

Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Nama Pacar Merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Prancis.

Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe Beng Kiat).

Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatera.

Beberapa judul kisah Patjar Merah:

  • Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938)
  • Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938)
  • Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940)
  • Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
  • Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)
abcs